freedom
"Memahami makna kebebasan berekspresi di Indonesia sebagai kesempatan memperjuangkan kebenaran"
Berangkat dari sejarah kebebasan berekspresi di Indonesia yaitu pada tahun 1998 tepatnya pada aksi reformasi digaungkan oleh mahasiswa, kaum buruh dan masyarakat akar rumput. Kebebasan ekspresi pada kala itu merupakan cita-cita yang hendak dicapai dalam usaha membangun negara Indonesia yang demokratis dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Namun, Meski Reformasi sudah berjalan selama 22 tahun setelah runtuhnya Orde Baru, ternyata reformasi hingga saat ini, belum membuahkan perubahan yang cukup siginifikan dalam rangka perjuangan demokrasi dan pemenuhan Hak Asasi Manusia (HAM), diantaranya menyangkut kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan berpendapat, kebebasan berserikat dan berkumpul, serta hak memperoleh informasi. Masih banyak sekali kasus penganiayaan yang dilakukan pada media pers, dan terkait kebebasan berekspresi dan berpendapat di Indonesia yang masih menunjukkan masa suram pasca 20 tahun reformasi. Tindak pidana Cyber Crime di Indonesia pada tahun 2016 terdapat peningkatan kasus tindak pidana penghinaan sebanyak hampir 2 kali lipat (Tahun 2016 = 708 laporan) dibandingkan tahun sebelumnya (Tahun 2015 = 485 laporan). Lalu, setidaknya ada 49 kasus di 2017 yang dilaporkan dengan menggunakan UU (Undang-Undang) Informasi dan Transaksi Elektronik. Entah sampai kapan kebebasan berekspresi di Indonesia terus terkekang, tapi yang pasti Indonesia yang sering digaungkan sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi memiliki kewajiban untuk melindungi hak asasi manusia, salah satunya adalah kemerdekaan berekspresi.
Kemerdekaan berekspresi merupakan salah satu hak yang fundamental yang diakui dalam sebuah negara hukum yang demokratis dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Di Indonesia sebagai negara hukum, jaminan mengenai kebebasan berekspresi diatur dalam UUD 1945 Amandemen ke II yaitu dalam Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Selain itu UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara lebih dalam mengatur mengenai kebebasan berekpresi tersebut, dalam Pasal 22 ayat (3) UU tersebut menyebutkan bahwa “Setiap orang bebas mempunyai, mengeluarkan dan menyebar luaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan atau tulisan melalui media cetak maupun media cetak elektronikdengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”.
Jika kebebasan berekspresi ini mampu diwujudkan dengan baik di Indonesia, maka akan tercipta negara demokrasi yang memiliki tingkat partisipasi masyarakat dalam upaya pembangunan negara yang tinggi. Mampu melindungi hak-hak warga negaranya untuk menyampaikan aspirasi bagi kebijakan yang sedang maupun akan dilakukan oleh pemerintah. Kemerdekaan media massa dalam berekspresi juga tentu dapat membuat tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah meningkat, sejalan dengan tingkat transparansi pelaksanaan pembangunan.
Meski begitu, bak dua sisi mata uang kemerdekaan berekspresi di Indonesia terkadang juga disalah artikan sebagai kebebasan yang sebebas-bebasnya tanpa perduli dengan aturan yang mengikat. Contohnya saja seperti berita hoax mengenai Covid-19, dirilis dari data Kominfo ditemukan sebanyak 1.401 kasus berita hoax mengenai Covid-19 sepanjang tahun 2020 dan mirisnya lagi, ada sebanyak 800.000 situ penyebar hoax di Indonesia yang aktif menyebarkan berita maupun isu hoax di Indonesia setiap harinya.
Oleh karena, itu penting bagi kita memahami dan menggunakan kemerdekaan berekspresi di Indonesia dengan sebaik-baiknya. Kemerdekaan berekspresi mampu menjadi hal yang positif jika kita memperhatikan aturan yang terkait. Sebaliknya, kemerdekaan berekspresi dapat menjadi bumerang ketika kita tidak mampu mempertanggungjawabkan mengenai informasi yang disampaikan. Semoga kita menganggap kebebasan bukan sebagai hak untuk melakukan apa yang kita suka, tetapi sebagai kesempatan untuk melakukan apa yang benar, demikian ungkap Peter Marshall seorang filsuf ternama dari negara Inggris. Ungkapan ini tentu sejalan dengan kebebasan berekspresi di Indonesia, yang memang sudah seharusnya dilihat sebagai peluang untuk memperjuangkan kebenaran bukan untuk melakukan apa saja yang kita suka, karena kebebasan berekspresi di Indonesia bukanlah kebebasan yang dimaknai dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya, tetapi kebebasan berekspresi di Indonesia merupakan kebebasan yang bertanggung jawab.
Komentar
Posting Komentar