perempuan berperan kunci kemajuan peradaban
Pada era modern seperti sekarang perempuan yang memiliki karir cemerlang di luar rumah bukan menjadi hal yang tabu. Kerja sebagai pegawai kantoran yang mengharuskan pergi pagi pulang sore seakan menjadi cita-cita dan impian perempuan masa kini. Belomba-lomba untuk mendapatkan pendidikan di sekolah dan kampus terkenal dengan jaminan akan mudah diterima perusahaan.
Meningkatkan prestasi akademik dan soft skill telah lumrah dilakukan kaum perempuan masa kini. Hal inilah yang kemudian menjadikan perempuan banyak muncul di ruang publik, berprofesi sebagai pegawai kantoran, presenter, politisi, bahkan dapat melakukan berbagai pekerjaan yang pada umumnya dilakukan oleh kaum laki-laki seperti menjadi supir angkutan umum.
Ruang publik yang awalnya merupakan hal tabu bagi perempuan kini dianggap sebagai wadah untuk mengekspresikan dan mengaktualisasikan diri. Perempuan dapat dengan leluasa melakukan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki, wacana ini disebut dengan emansipasi. Persamaan hak dan kesetaraan gender menjadi makna utama dari emansipasi. Jika melihat wacana emansipasi perempuan di indonesia, kita tidak dapat melepaskan sosok Raden Ajeng Kartini yang sejak abad ke 19 telah dikenang sebagai pejuang emansipasi perempuan.
Lahir dan dibesarkan di dalam keluarga bangsawan keraton tidak menjadikan Kartini muda tutup mata dengan segala realitas yang ada. Memiliki hobi membaca membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kritis dan cepat menyadari segala bentuk ketidakadilan yang dirasakan oleh kaumnya, dimana pada saat itu kaum perempuan hanya dipandang sebagai second human disetiap lini kehidupan bermasyarakat, hanya disuruh berbakti kepada kedua orang tua dan tidak memiliki akses pendidikan karena dianggap hanya bertugas mengurus sektor domestik (dapur, sumur, kasur).
Hal ini sangat berbeda kaum laki-laki yang memiliki akses besar di semua sektor terlebih pada sektor pendidikan, hingga akhirnya Raden Ajeng Kartini hadir dengan segala segala perjuangannya memutus jurang kesenjangan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Sungguh perjuangan Raden Ajeng Kartini sangat besar jasanya bagi perempuan milenial masa kini, karena berkat segala perjuangan beliau, kini perempuan dapat merdeka dari jerat belenggu yang membatasi perempuan dalam berprestasi, berekspresi, dan berperan.
Meski begitu perjuangan belum selesai, karena ternyata masih banyak masalah-masalah yang membuat perempuan merasa memiliki beban ganda, tertindas, dan terpaksa tunduk kepada keadaan. Kondisi seperti inilah yang kemudian menjadi tanggung jawab segenap perempuan penerus perjuangan R.A Kartini untuk bersama-sama memecahkan masalah saling bahu membahu memikul beban masalah yang tengah dihadapi perempuan Indonesia.
Hal ini sangat perlu menjadi perhatian khusus karena pada masa sekarang ancaman sebenarnya berasal dari kaum perempuan itu sendiri. Perempuan dapat sukses menjalankan tugasnya yang multiperan. Menjadi Istri sekaligus menantu, menjadi pekerja sekaligus ibu rumah tangga, atau bahkan menjadi ibu sekaligus ayah ketika diharuskan menjadi orang tua tunggal. Perempuan tentunya bebas memlih peran untuk berkarya di luar rumah atau berdaya sesuka hatinya. Tapi hal ini tentu memiliki konsekuensi, hambatan maupun celaan dari lingkungan, tak sedikit dari perempuan Indonesia yang tidak percaya diri akan mimpinya, kerap dihantui rasa bersalah meskipun mempunyai tujuan yang mulia.
Fenomena ini tak mengherankan karena penelitian menunjukan, jika sukses berkorelasi positif bagi kaum laki-laki namun kerap membawa konsekuensi negatif bagi perempuan. Masih melekatnya anggapan jika mimpi dan ambisi perempuan kerap dinilai bertentangan dengan tradisi. Pekerja perempuan yang mengupayakan posisi dianggap menghancurkan reputasi laki-laki dan hanya memikirkan diri sendiri.
Perempuan yang memiliki kepercayaan diri untuk unjuk diri seringkali malah dihindari. Bahkan ketika perempuan dapat sukses meraih mimpi, segala celaan dan cibiran dari masyarakat sekitar masih mungkin datang, dianggap begini, dianggap begitu, ditakar macam-macam. Tak ada yang lebih paham persoalan perempuan selain perempuan itu sendiri, jadi mari kita perbaiki mulai dari dri sendiri. Jika pokok-pokok pemikiran R.A Kartini berfous pada tiga hal yaitu:
1. Memerangi kebodohan: Perempuan harus bersekolah/berpendidikan dan
memiliki keterampilan agar berdaya
2. Memerangi kemisinan: Perempuan harus dapat berkontribusi secara sosial
dan ekonomi
3. Memerangi ketidakadilan pada perempuan: menentang poligami,
prjodohan paksa dan pingitan.
Maka dari ketiga pokok pemikiran R.A Kartini diatas dapat direduksi oleh perempuan era milenial melalui setidaknya tiga karakteristik yang harus
dimiliki yaitu:
1. Confident (kepercayaan diri): perempuan milenial harus memiliki rasa
percaya diri, yakin dengan mimpi-mimpinya, serta paham akan segala
kelemahan dan kekuatan pada dirinya sendiri. Karena harga diri tidak
ditentukan oleh orang lain, melainkan berasal dari pengenalan akan diri
sendiri atas segala potensi yang dimiliki
2. High expectations (ekspektasi yang tinggi): Perempuan milenial harus
mampu mengetahui impian masing-masing, tidak takut bermimpi tinggi
dan berupaya mengejar mimpi.
3. Achievement oriented (berfokus pada tujuan): Sangat penting bagi
perempuan milenial untuk paham tentang apa yang hendak dikejar dan
direalisasikan, bagaimana cara merealisasikannya dan manfaat apa yang
akan didapatkan jika mimpi telah tercapai.
Jika ketiga karakteristik diatas dapat dimiliki oleh seluruh perempuan milenial Indonesia maka sifat perempuan yang multiperan dapat terselesaikan
dengan baik. Perempuan telah terbiasa bekerja keras, bahkan lebih keras dibandingkan laki-laki, karena disetiap kesempatan yang biasaya terbuka dengan mudah bagi kaum laki-laki perlu dibuka dengan keras atau bahkan didobrak oleh perempuan agar kesempatan itu mau terbuka.
Perempuan mempunyai keterbatasan ruang yang didominasi laki-laki, itu sebabnya tak jarang para perempuan milenial melihat hidup sebagai ajang kompetisi. Sehingga rasa khawatir dan cemas membuat perempuan Indonesia merasa tak pernah cukup, melihat segala gerak-gerik teman perempuan sebagai ancaman. Hal ini yang kemudian membuat sesama perempuan yang seharusnya saling bergandengan tangan tak jarang malah saling menjatuhkan.
Ada sebuah fenomena yang dikenal sebagai Queen Bee Syndrome, hasil penelitian mengungkapkan sekitar 58% perundung di tempat kerja adalah perempuan, dan 90% dari mereka memilih perempuan lainnya sebagai korban perundungan. Padahal menjadi perempuan yang positif bukan berarti lemah, mengapresiasi kesuksesan bukan berarti pengakuan atas kegagalan.
Bukankah lebih indah apabila perempuan Indonesia bisa bersama-sama mengambil peran, bekerja bersama-sama bisa didahulukan. Tentu tidak akan ada lagi perempuan yang merasa sendirian, karena kita akan senantiasa ditemani oleh yang lain, oleh perempuan yang lain. Perempuan milenial indonesia harus mengambil peran, bersama-sama bergandengan tangan, dan membuat lingkaran, Karena perempuan yang berperan merupakan kunci kemajuan peradaban.
Banyak sekali perempuan-perempuan dunia yang berkontribusi besar dalam peradaban, seperti Raden Ajeng Kartini sebagai pejuang emansipasi, Cleopatra ratu Mesir yang terkenal cantik dan cerdas dan Christine Lagarde wania pertama yang memimpin Bank Sentral Eropa (ECB).
Oleh karena itu penting bagi perempuan milenial untuk menumbuhkan
empati dan kerendahan hati, saling mendukung satu-sama lain. Jika laki-laki
dapat dipromosikan berdasarkan potensi yang dimiliki, perempuan hanya dipromosikan berdasarkan pencapaian yang telah dikerjakan atau hanya berdasarkan penampilan fisik saja, padahal nilai perempuan tentu lebih dari
itu. Biarkan saja jika mereka di luar sana tidak ada yang sudi mempromosikan perempuan berdasarkan pencapaian yang diraihnya karena ada kaum perempuan yang lain yang dapat menjadi jurkamnya.
Komentar
Posting Komentar